8.19.2008

Wanita yang Pernah Ternoda

Artikel ini saya kutip dari www.kotasantri.com

Publikasi : 15-08-2008 @ 09:09

Penulis : Erwin Arianto

KotaSantri.com : "Selamat pagi, Denty," sapa lembut seorang suster perawat yang berpapasan denganku pada pagi itu, di rumah sakit tempat aku menjalankan kehidupan siangku sebagai Assisten Dokter, sebagai syarat agar aku menjadi seorang dokter, ini adalah keinginan ibu yang menginginkan aku menjadi dokter.

"Ibu mau, kamu menjadi dokter, biar bisa menyembuhkan orang, biar ada orang yang mau mengabdi kepada orang yang susah. Ibu tidak mau, kamu jadi dokter yang materialistis." ucap ibu ketika aku bingung memutuskan jurusan kuliah yang akan aku geluti kala itu.

Ya, ibu sangat traumatik ketika ibu membawa almarhum ayahku yang telah meninggal ketika terjadi kecelakaan, dan ibu mendesak aku untuk menjadi seorang dokter yang bisa diandalkan.

Mungkin kehidupan siangku berisi dengan penuh pengabdian kepada masyarakat, tapi aku menyukai dunia yang gemerlap kala malam hari. Pergi ke diskotik adalah sebuah menu wajib bagiku, dan aku suka berganti-ganti pacar, bertujuan agar dia bisa membiayaiku dalam menikmati remang-remang diskotik. Hobiku yang satu ini cukup menguras uang yang cukup besar.


Banyak lelaki yang tertarik kepadaku karena aku bertubuh tinggi dan cukup menarik minat mereka. Banyak yang mungkin hanya tertarik dengan tubuhku saja, tapi hal itu tidak menjadi permasalahan buatku. "Yang penting aku bisa dugem," itulah alasanku ketika Tini, sahabatku, memberikan nasihat.

Pagi itu, aku bertemu seorang wanita berjilbab menangis sesegukan di depan koridor Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tempatku praktik. Aku memandang wajahnya lekat, dan aku mencoba menyapanya pagi itu. Karena percaya padaku, dia bercerita banyak tentang dirinya.

Jiwaku resah mendengar kisahnya. Dengan keraguan yang menggelayut dalam matanya dan air mukanya yang gelisah, aku tidak yakin dia akan menyelesaikan ceritanya, tapi entah dorongan dari mana, dia menuturkan juga pengalamannya yang membuat hatiku koyak. Perempuan dengan tatapan lembut di hadapanku sedikit terlihat lega, sekaligus agak takut setelah menyelesaikan ceritanya.

Mataku nanar setelah mengetahui kisah hidupnya. Kisah hidup perempuan manis yang selalu tampak ramah dan ceria, yang berusaha keras menjaga dirinya dari setiap jamahan pria-pria tak bertanggung jawab, yang menutup auratnya sempurna, yang cerdas, yang aktif, yang rendah hati, yang sebelumnya tak pernah sebersit pun kukira bahwa ada fragmen dalam hidupnya yang terkoyak yang pernah menghancurkan jiwanya, walaupun kini ia berhasil bangkit.

"Aku sudah terjamah. Aku benci!" tutur wanita itu menyelesaikan kisahnya. Dia hanya menyebutkan namanya Tika, ketika aku menanyakan siapa namanya.

Aku menimang-nimang, mulai membandingkan kilasan cerita yang ia tuturkan dengan peristiwa yang kualami tiga bulan yang lalu. Jika dia, perempuan berjilbab nan manis itu merasa telah ternoda karena sebuah tangan kotor milik seorang dokter tak bertanggung jawab di sebuah rumah sakit, maka aku adalah perempuan yang lebih hina lagi.

Jika jiwanya saja bisa begitu terguncang karena tangan kotor milik dokter itu telah dengan seenaknya menyentuh dan menikmati sisi kewanitaannya ketika dia dalam keadaan tergolek lemah setengah sadar di rumah sakit, maka jenis perempuan apakah aku ini, yang liar, menjijikan, dan tak pantas disebut perempuan baik-baik?

Jika kejadian yang menimpanya hampir lima tahun lalu, jauh sebelum dia akhirnya memutuskan untuk mengenakan pakaian muslimah, masih saja menggoreskan luka dalam di hatinya, maka hatiku telah hancur lebur mengingat peristiwa manis sekaligus pahit yang kualami akhir beberapa bulan lalu lalu.

***

Pikiranku melayang waktu kejadian di apartemen Burhan, seseorang yang berstatus sebagai kekasihku.

"Kamu mau main ke tempatku?" tanya Burhan kala itu, seorang pria pengusaha muda dari negeri jiran yang kukenal di diskotik di bilangan Kemang. Dia berkata, dia begitu menyukai aku atau mungkin hanya menyukai tubuhku.

"Kamu dokter kan?" tanya Burhan kepadaku.

"Betul, aku seorang dokter." jawabku.

"Berarti kamu tahu bagaimana agar kamu tidak hamil kan, Denty?" ucap Burhan yang begitu menggetarkan aku.

"Mas, aku bukan pelacur," ucapku kepada Burhan kala itu.

"Sudahlah, Denty, aku tidak mengatakan kamu pelacur. Kita melakukannya karena suka sama suka bukan?"

"Jadi, kamu tidak mau bertanggung jawab terhadap bayi yang ada di kandunganku ini?" tanyaku kepada mas Burhan yang saat itu menjadi kekasihku.

"Bajingan kamu, mas," ungkapku.

Dan Burhan hanya tersenyum terkikik melihat sikapku dan meninggalkanku siang itu di depan apartemennya pada pertemuan keduaku.

***

Aku tersadar kembali dan bertatap mata kepada Tika, wanita yang tadi menangis di hadapanku.

"Jika itu saja kau sebut sudah terjamah, lalu kau sebut apa peristiwa yang terjadi padaku?" kalimat itu ke luar begitu saja tanpa kusadari.

Sejurus dia memandangku lekat. Di balik mata kecilnya, aku melihat kejernihan dan kepolosan seorang muslimah yang baik hati. Apakah aku sanggup menceritakan kepahitan ini? Sedang riak wajah gadis di hadapanku menyiratkan keingintahuan dan tanda kesiapan mendengar setragis apa pun kisah yang akan kuceritakan.

Lalu, tanpa bisa dibendung lagi, seolah air bah yang mengalir deras karena bendungan tak lagi mampu menahan tekanannya. Kalimat-kalimat jujur tentang segala kegundahan hatiku, tentang merananya aku, tentang kekecewaan, tentang hinaan dan deraan yang lama kupendam, kusimpan dan kusembunyikan di balik senyuman yang kupaksakan, akhirnya meluncur deras tanpa bisa lagi kutahan dan kusembunyikan. Aku menangis menceritakan kisahku yang sungguh menyayat hatiku.

Waktu itu, hanya sebuah perkenalan biasa yang akhirnya membawa petaka. Sebuah kesenangan yang berakhir duka. Seorang pria mempesona yang menyeretku pada siksa. Dia begitu tampan, bersahaja, dan menyenangkan. Kedalaman matanya membiusku, tutur katanya menggetarkanku, setiap sentuhannya membakarku.

Malam itu, setelah seharian menemaninya berkeliling kota, tanpa kami masing-masing sadari, kami telah berada di sebuah ruangan di apartemennya, hanya berdua, saling tertarik, saling menginginkan, dan aku terlena, melupakan semua perkara dan fakta bahwa pria yang melenakan ini adalah pria yang baru kukenal, pria yang esok atau lusa akan meninggalkanku kembali ke negaranya. Dan benar saja, setelah malam itu, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi.

Aku menutup wajahku malu. Perempuan di hadapanku tak bergerak, terpaku saja mendengar kisahku. Sedetik kemudian aku merasakan sebuah rangkulan hangat.

"Menangislah," katanya lembut.

Dan aku menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohanku, meratapi nasibku, menangisi mahkotaku yang hilang sebelum semuanya halal. Aku bukan lagi wanita suci, aku bukan lagi gadis berbudi, aku tak ada bedanya dengan sampah.

"Kita, perempuan, adalah objek yang sangat mudah mengalami pelecehan, baik kita sadari maupun tidak." Perempuan itu berkata lembut, "Jika kita tidak menjaga diri baik-baik, semua akan berakhir fatal." Kata-katanya menghujam, "Apa yang menimpamu adalah sebuah kesalahan dan dosa. Untuk menebusnya, kau harus kembali padaNya dan bertaubat."

"Tapi, aku hina," ucapku seakan meyakinkan diriku sendiri.

"Pintu maaf Allah begitu luas terbentang terbuka. Dan yakinlah, Allah akan memaafkanmu," ujar Tika dengan lembut kepadaku, walau dengan sedikit airmata menahan perih rasa di dadanya.

Apa iya? Aku menimang-nimang dalam hati, tapi pandangan tajam menghujamnya seolah menembus ke dalam mataku lalu menancap tepat di hatiku.

"Aku temanmu, aku akan mendukungmu, yakinlah, dunia belum runtuh, kau hanya perlu bartaubat dan tidak mengulangi kesalahanmu," kata-katanya masih lembut, tetapi menggetarkan hatiku.

"Mungkin aku "Neurosis"," ujarku kepada tika, seorang wanita yang baru kukenal dan menyadarkan atas kekhilafanku.

"Apa itu Neurosis?" tanya Tika singkat kepadaku.

"Kondisi psikologis yang di dalamnya pola perilaku abnormal timbul sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam menghadapi kecemasan dengan cara-cara yang bisa diterima secara sosial."

"Apakah kamu beragama Islam?" tanya tika kepadaku.

"Ya, aku Islam," ucapku kepada Tika.

"Tidakkah Kau merindukan Allah?" tanya Tika kepadaku.

"Allah," ucapku dalam hati, aku telah melupakannya. Dia yang memberiku kesempatan menjadi dokter di tengah ke status keyatimanku. Hatiku menangis menyesali apa yang pernah aku lakukan.

Aku menunduk memikirkan ucapan Tika, aku berjanji dalam hati untuk menjaga diriku dari mata-mata liar dan tangan-tangan jahil pria-pria tak bertanggungjawab. Dan aku berajanji mengubah masa laluku yang kelam ke arah yang benar sesuai petunjukNya.

Aku merasakan sebuah tarikan halus, aku menurut saja ketika perempuan lembut itu membimbingku ke mushala.

"Shalat taubat, yuk!" ajaknya.

Kami pun segera ke mushala menjalankan shalat taubat. Selesai melaksanakan shalat taubat, Tika menuntunku dalam membaca do'a taubat, "Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang berlebihan dalam urusanku. Ampunilah kesalahanku yang Kau lebih mengetahui daripada aku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang lalu dan yang akan datang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang dan dosa yang Kau lebih mengetahui daripada aku. Kau-lah yang mengajukan dan Kau-lah yang mengakhirkan, dan Kau Mahakuasa atas segala sesuatu."

Dan mulai saat itu, aku mengenakan jilbab yang menghias mukaku, serta kututup semua tubuhku. Dan aku akan mengabdikan ilmu kedokteran yang aku miliki untuk mengabdi sepenuhnya kepada kebutuhan ummat.

Terima kasih Ibu, Terima kasih Tika, Terima kasih ya Allah atas semua yang Kau berikan.

3 komentar:

terima kasih sudah mengunjungi halaman ini, semoga dapat bermanfa'at....jika teman-teman ingin belajar untuk menulis dan menerbitkan buku sendiri teman-teman bisa mendapatkan panduannya dari seorang penulis buku best seller dan pemilik mujahid press, silakan klik disini